Peluang Masih Terbuka: Tiga Prioritas untuk Ekonomi Global

11 April, 2018

Selamat siang — ńgh ōn !

Terima kasih kepada Victor Fung atas sambutannya yang begitu baik, serta Asia Global Institute dan Universitas Hong Kong yang telah mengundang saya kembali ke kota yang luar biasa ini.

Setiap kali saya mengunjungi Hong Kong, saya selalu teringat akan kutipan dari diplomat dan sejarawan Perancis, Alexis de Tocqueville, yang pernah berkata: “Sejarah adalah galeri lukisan di mana ada hanya sedikit karya asli dan banyak tiruan.”

Tidak ada keraguan bahwa Hong Kong adalah selalu yang asli. Lihat saja energi dan gairahnya yang luar biasa. Lihat juga kemampuannya tidak hanya untuk beradaptasi dengan perubahan namun juga secara aktif membentuk masa depannya di kawasan yang paling dinamis di dunia.

Transformasi Hong Kong—dari kekuatan manufaktur yang besar, menjadi mesin perdagangan global, kemudian pusat keuangan kelas dunia—tidak mungkin tercapai tanpa komitmen Hong Kong yang khas pada keterbukaan, pada upayanya menggabungkan talenta setempat dengan gagasan dan keahlian baru dari seluruh dunia.

Keterbukaan ekonomi yang lebih besar tentu saja meningkatkan kepekaan Anda terhadap perubahan tren.

Warga Hong Kong amat menyadari bahwa sejarah ekonomi tidak pernah bergerak dalam lintasan lurus, melainkan dalam siklus. Dan mereka tahu betul bahwa saat ekonomi bergerak—naik ataupun turun—para pembuat kebijakan tidak dapat hanya berdiam diri.

Saya sepenuhnya setuju—karena ini adalah kisah ekonomi global kita.

Dunia saat ini sedang mengalami peningkatan yang kuat yang menjanjikan pendapatan dan standar hidup yang lebih tinggi. Memenuhi janji ini sangat penting, tidak hanya di sini, di Asia, tetapi di seluruh dunia.

Saya sudah menyerukan kepada semua pemerintah untuk memanfaatkan momentum pertumbuhan saat ini untuk melakukan aksi kebijakan dan reformasi-reformasi yang amat dibutuhkan, terutama di pasar tenaga kerja dan sektor jasa.

Reformasi ini—yang terkadang sulit secara politik—lebih efektif dan lebih mudah diterapkan ketika ekonomi sedang bergerak naik, bukan turun.

Kesempatan masih terbuka . Akan tetapi, kebutuhan terhadap aksi kebijakan tersebut kini justru semakin mendesak. Mengapa? Karena ketidakpastian telah meningkat secara signifikan:

  • Kekhawatiran utama adalah dampak negatif terhadap pertumbuhan dan lapangan pekerjaan akibat ketegangan perdagangan, terutama jika perselisihan saat ini semakin menajam.
  • Risiko keuangan dan fiskal meningkat karena harga aset yang tinggi dan tingkat utang publik dan swasta yang meningkat tajam. Utang telah meningkat di negara-negara pada semua tingkatan pembangunan, namun khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah.
  • Dan ada kekhawatiran yang semakin besar tentang polarisasi politik, terutama di beberapa negara ekonomi maju—sebagian disebabkan terlalu banyaknya orang yang masih menghadapi stagnasi upah dan peluang yang terbatas.

Jadi inilah pertanyaannya:

Bagaimana kita dapat mempertahankan peningkatan saat ini dalam keadaan risiko yang meningkat? Dan bagaimana kita dapat mendorong pertumbuhan jangka panjang yang menguntungkan bagi semua pihak?

Ini adalah persoalan yang akan menjadi fokus para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral saat mereka menghadiri Pertemuan Musim Semi IMF dan Bank Dunia minggu depan.

Dan inilah persoalan yang ingin saya bicarakan hari ini.

Keadaan Ekonomi Global

Kabar baiknya adalah bahwa wajah ekonomi sebagian besar masih cerah.

Kami melihat momentum global yang didorong oleh investasi yang lebih kuat, perdagangan yang kembali meningkat, dan kondisi keuangan yang masih menguntungkan—yang mendorong dunia usaha dan rumah tangga untuk meningkatkan pengeluaran mereka.

Itulah mengapa IMF pada bulan Januari memproyeksikan pertumbuhan global sebesar 3,9 persen untuk tahun 2018 dan 2019, dan seperti yang akan Anda lihat dari prakiraan kami yang akan dirilis minggu depan, kami terus bersikap optimistis.

Apa yang mendorong hal ini?

Salah satu faktornya adalah ekspansi siklis di negara-negara ekonomi maju, yang diperkirakan tumbuh di atas potensi jangka menengah mereka tahun ini dan tahun berikutnya. Ini termasuk Eropa di mana peningkatan sekarang tersebar lebih luas di seluruh kawasan tersebut.

Amerika Serikat sudah berada dalam keadaan kesempatan kerja penuh (full employment ), dan pertumbuhannya kemungkinan akan semakin cepat akibat kebijakan fiskal yang ekspansif.

Sementara itu, di Asia ini prospeknya tetap cerah—yang tentunya baik bagi semua, karena wilayah ini menyumbang hampir dua pertiga dari pertumbuhan global.

Ekonomi Jepang terus tumbuh kuat, dan kekuatan ekonomi baru (emerging markets) Asia—dipimpin oleh Tiongkok dan India—digerakkan oleh peningkatan ekspor dan konsumsi domestik yang lebih tinggi.

Walaupun tantangan tetap ada di beberapa negara-negara kekuatan ekonomi baru dan negara-negara berkembang lainnya—termasuk di Afrika sub-Sahara—para eksportir komoditas sedang mengalami peningkatan yang cukup baik.

Jadi betul, gambaran global saat ini tetap cerah.

Tetapi jika kita perhatikan lebih saksama, kita dapat melihatarea-area di mana awan gelap sedang membayangi.

Kenyataannya adalah bahwa momentum yang diperkirakan untuk tahun 2018 dan 2019 suatu saat akan melamban.

Mengapa? Karena stimulus fiskal yang memudar, termasuk di AS dan Tiongkok; dan karena meningkatnya suku bunga seiring bank-bank sentral utama terus menormalisasi kebijakan moneternya.

Ditambah masalah populasi yang menua dengan produktivitas yang lemah, maka Anda mendapatkan prospek jangka menengah yang menantang bagi banyak negara, terutama di negara-negara maju.

Apa yang dapat dilakukan oleh para pembuat kebijakan? Izinkan saya menyoroti tiga prioritas yang dapat menghasilkan perbedaan.

Tiga Prioritas bagi Ekonomi Global

1. Hindari Proteksionisme

Pertama—pemerintah perlu menghindari proteksionisme.

Sejarah memperlihatkan secara jelas bahwa pembatasan impor merugikan semua, terutama konsumen yang lebih miskin. Bahkan industri yang hendak dilindungi sekali pun pada akhirnya akan menderita akibat balasan pemerintah negara lain.

Dengan kata lain, bagaikan lukisan, proteksionisme sekilas mungkin terlihat indah, tetapi jika benar-benar diperhatikan maka akan terlihat banyak cacatnya.

Namun demikian, miskonsepsi mengenai perdagangan tampaknya tidak bisa hilang begitu saja.

Khususnya salah satu miskonsepsi yang sangat berbahaya adalah anggapan bahwa ketidakseimbangan neraca perdagangan antara dua negara adalah bukti dari praktik-praktik yang tidak adil. Padahal sama sekali tidak begitu.

Ketidakseimbangan neraca bilateral ini, sesungguhnya, adalah gambaran dari pembagian kerja antar negara, termasuk rantai nilai global.

Misalnya, negara yang fokus pada perakitan ponsel cerdas akan cenderung memiliki defisit perdagangan dengan negara-negara yang memproduksi komponen-komponennya, dan surplus dengan negara-negara yang membeli perangkat yang sudah jadi.

Dengan membatasi impor, rantai pasokan bukan hanya terganggu, tetapi perdagangan akan terhambat dalam memainkan peran pentingnya untuk mendorong produktivitas dan menyebarkan ide dan teknologi baru.

Lalu bagaimana halnya dengan defisit perdagangan keseluruhan suatu negara dengan negara-negara lain di dunia? Sederhananya, defisit ini disebabkan oleh fakta bahwa negara tersebut belanja melebihi pendapatannya. Dan suatu peningkatan defisit keseluruhan cenderung akan berdampak pada semua neraca perdagangan bilateral, sehingga mengurangi surplus atau melebarkan defisit.

Cara terbaik untuk mengatasi ketidakseimbangan makroekonomi ini adalah bukan dengan mengenakan tarif, namun menggunakan kebijakan yang memengaruhi ekonomi secara keseluruhan, seperti perangkat fiskal atau reformasi struktural.

Amerika Serikat, misalnya, dapat membantu mengatasi ketidakseimbangan global yang berlebihan dengan mengurangi stimulus fiskalnya—sementara Jerman dapat meningkatkan belanja publiknya, terutama untuk pendidikan dan infrastruktur digital.

Maka, alih-alih mundur ke dalam miskonsepsi lama, negara-negara harus bergerak maju, secara sendiri-sendiri dan bersama-sama.

Mereka dapat memulai dengan secara lebih baik membantu negara-negara yang menghadapi dislokasi terkait perdagangan dan teknologi. Pertimbangkan manfaat dari peningkatan investasi pada pelatihan dan jaring pengaman sosial—sehingga para pekerja dapat meningkatkan keterampilan mereka dan beralih ke pekerjaan yang lebih berkualitas.

Masing-masing negara juga memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki sistem perdagangan dengan melihat praktik-praktiknya sendiri dan dengan berkomitmen terhadap suatu tingkat kompetisi yang setara di mana setiap pihak bermain sesuai aturan.

Ini termasuk melindungi kekayaan intelektual secara lebih baik, dan mengurangi distorsi kebijakan yang mengistimewakan perusahaan milik negara.

Kita semua dapat berbuat lebih banyak—tetapi kita tidak dapat melakukannya sendiri.

Ingat: sistem perdagangan multilateral telah mentransformasi dunia kita selama generasi yang lalu. Sistem ini telah membantu mengurangi hingga setengah proporsi penduduk global yang hidup dalam kemiskinan ekstrem; [1] dan telah menciptakan jutaan pekerjaan baru dengan upah yang lebih tinggi.

Namun, sistem aturan dan tanggung jawab bersama itu kini terancam hancur berantakan. Hal ini akan menjadi sebuah kegagalan kebijakan kolektif yang tak termaafkan.

Jadi mari kita gandakan upaya kita untuk mengurangi hambatan perdagangan dan menyelesaikan perselisihan tanpa menggunakan langkah-langkah yang luar biasa.

Mari kita bekerja bersama untuk lebih lanjut mengembangkan prakarsa perdagangan berwawasan ke depan, termasuk berbagai perjanjian terkini antara Jepang dan Uni Eropa, Kawasan Perdagangan Bebas Kontinental Afrika yang baru, dan apa yang disebut TPP-11.

Mari kita lampaui kepentingan nasional yang sempit untuk memperkuat perdagangan sebagai sebuah sumber kemakmuran yang terbagi secara luas.

Dalam semua upaya ini, kami di IMF mendukung anggota kami melalui analisis dan saran dan dengan menawarkan suatu wadah untuk dialog dan kerja sama.

Untuk inilah kami dibentuk. Pengalaman kami selama lebih dari tujuh dekade dengan jelas menunjukkan bahwa ketika negara-negara bekerja bersama, tantangan global menjadi lebih mudah dikelola.

Kita membutuhkan semangat kerja sama tersebut untuk membantu kita menghindari proteksionisme—dan untuk menopang kemajuan global.

2. Melindungi Diri Dari Risiko Fiskal dan Keuangan

Kita juga perlu melindungi diri dari risiko fiskal dan keuangan—ini adalah prioritas kedua saya.

Di sini, angka-angkalah yang bercerita.

Analisis IMF yang baru [2] menunjukkan bahwa, setelah satu dekade kondisi keuangan yang tenang, utang global—baik pemerintah maupun swasta—telah mencapaitingkat tertinggi sepanjang sejarah, yakni $164 trilyun.

Dibandingkan tahun 2007, tingkat utang ini 40 persen lebih tinggi, di mana hampir separuh dari peningkatan tersebut bersumber dari Tiongkok saja.

Pendorong utama peningkatan ini adalah sektor swasta, dengan porsi dua pertiga dari total utang tersebut. Namun cerita ini masih belum lengkap.

Utang pemerintah di negara-negara perekonomian maju ada pada tingkat [3] yang belum pernah terlihat sejak Perang Dunia Kedua. Dan jika tren terakhir ini berlanjut, banyak negara berpendapatan rendah akan menghadapi beban utang yang melebihi kemampuan mereka untuk membayar ( unsustainable debt burdens). Bahkan, G20 baru-baru ini menyerukan kepada para debitur dan kreditur untuk meningkatkan keterbukaan utang pemerintah di negara-negara berpendapatan rendah.

Saat utang pemerintah meningkat, pembayaran utang pun meningkat, yang menekan ketersediaan dana untuk infrastruktur dan kebutuhan-kebutuhan produktif lainnya, sehingga berpotensi membahayakan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan.

Yang paling utama di sini adalah bahwa beban utang yang tinggi telah menyebabkan pemerintah, perusahaan, dan rumah tangga semakin rentan terhadap suatu pengetatan mendadak dari kondisi keuangan. Dan hal ini dapat memicu koreksi pasar, persoalan kemampuan membayar utang, dan arus modal keluar di negara-negara kekuatan ekonomi baru (emerging markets), yang semakin menekankan perlunya suatu normalisasi kebijakan moneter yang terkomunikasikan dengan baik dan berdasar data.

Karena itu, kita harus memanfaatkan momentum pertumbuhan saat ini untuk bersiap menghadapi tantangan di depan. Kesempatan masih ada!

Hal ini adalah soal bagaimana kita menciptakan ruang yang memadai untuk bertindak saat kondisi menurun berikutnya tak terhindarkan akan datang—atau seperti yang sering dikatakan para ekonom, ini adalah soal ‘membangun bantalan-bantalan kebijakan (policy buffers) .’

Secara spesifik, apa maknanya?

Bagi banyak negara, hal ini berarti mengurangi defisit pemerintah, memperkuat rerangka fiskal, dan perlahan mengurangi utang pemerintah, dan melakukan hal ini dengan cara yang ramah bagi pertumbuhan melalui perpajakan progresif dan belanja yang lebih efisien.

Satu hal penting lainnya adalah mengizinkan fleksibilitas nilai tukar untuk dapat menanggulangi arus modal yang tidak stabil, khususnya di negara-negara kekuatan ekonomi baru dan negara-negara berkembang.

Upaya-upaya untuk meningkatkan ketahanan tersebut berperan sebagai tujuan yang sangat penting karena akan dapat membantu menanggulangi kedalaman dan durasi dari resesi.

Sebagai contoh, suatu studi baru-baru ini [4] menunjukkan bahwa penurunan output setelah suatu krisis keuangan adalah kurang dari 1 persen di negara yang sudah memiliki bantalan-bantalan fiskal dan moneter yang memadai, namun hampir 10 persen di negara tanpa bantalan tersebut.

Karena itu, menggunakan perangkat makroekonomi dengan hati-hati adalah penting. Namun itu saja tidak cukup.

Kita perlu memperkuat stabilitas keuangan dengan memperkuat bantalan-bantalan di sektor korporasi dan perbankan, terutama di negara-negara yang perekonomiannya tumbuh pesat yang besar seperti Tiongkok dan India.

Hal ini berarti mengurangi utang korporasi dan memperkuat modal dan likuiditas bank di mana diperlukan. Hal ini juga berarti melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk merespons pasar perumahan yang sedang melejit, termasuk di sini, di Hong Kong.

Analisis IMF terbaru [5] menunjukkan bahwa pasar perumahan di kota-kota besar di seluruh dunia semakin bergerak beriringan—yang dapat melipatgandakan perubahan-perubahan finansial dan makroekonomi tak terduga yang muncul dari negara mana pun.

Itulah kenapa kita juga memerlukan bantalan-bantalan global. Apa artinya?

Pertama, kita perlu menghindari pembongkaran rerangka regulasi yang diterapkan sejak krisis keuangan global yang telah membuat sistem keuangan kita lebih aman.

Kita juga perlu waspada terhadap tantangan baru yang muncul dari aset-aset kripto, termasuk penawaran-penawaran koin perdana.

Di bidang ini, tujuan kita seharusnya adalah bagaimana memanfaatkan potensi teknologinya —termasuk melalui kerja sama regulasi internasional—sambil menanggulangi risiko terkait kripto tersebut—seperti risiko penggelapan pajak, pencucian uang, hingga pendanaan terorisme.

Membangun bantalan-bantalan perekonomian semacam ini dan mengurangi risiko keuangan dapat membantu mempertahankan peningkatan yang kini tengah berlangsung.

Namun kita juga perlu melihat gambaran jangka panjangnya—mengupayakan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dan lebih luas terbagi. Ini adalah prioritas kebijakan ketiga saya.

3. Mengupayakan Pertumbuhan Jangka Panjang yang Bermanfaat bagi Semua

Mengupayakan pertumbuhan yang lebih kuat dan lebih inklusif merupakan tantangan utama karena banyak negara—dan banyak orang—menghadapi risiko akan tertinggal.

Jika, sesuai perkiraan, negara-negara perekonomian maju kembali ke pertumbuhan jangka menengah yang mengecewakan, hal ini dapat memperburuk kesenjangan perekonomian, masalah utang, dan polarisasi politik.

Pada saat yang sama, lebih dari 40negara ekonomi baru dan berkembang diproyeksikan tumbuh lebih lambat dalam hitungan per kapita dibandingkan negara-negara maju.

Hal ini berarti peningkatan standar hidup yang lebih lambat dan kesenjangan pendapatan yang lebih lebar antara negara-negara tersebut dengan negara-negara maju.

Lalu apa yang dapat dilakukan?

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, peluang masih terbuka. Namun untuk mendorong produktivitas dan potensi pertumbuhan, negara-negara perlu semakin meningkatkan reformasi perekonomian.

Izinkan saya menyebut dua hal yang saya anggap berpotensi sebagai penentu perubahan:

(i) Yang pertama adalah membuka potensi sektor jasa di negara-negara berkembang .

Saat mereka bergeser dari ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi berbasis jasa, banyak negara-negara ini melewatkan fase industrialisasi tradisional.

Tren ini menimbulkan kekhawatiran bahwa negara-negara dapat terjebak di dalam model ekonomi berproduktivitas lebih rendah dengan peluang yang kecil untuk mengejar sampai tingkat pendapatan ekonomi maju.

Meski demikian, penelitian terkini [6] kami menunjukkan bahwa sebagian sektor jasa—dipimpin oleh transportasi, komunikasi dan jasa bisnis—dapat mencapai tingkat produktivitas seperti di sektor manufaktur.

Hal ini amat penting bagi negara-negara seperti Filipina, Kolombia dan Ghana di mana lapangan kerja dan output bergeser dari produksi pertanian ke jasa bernilai yang lebih tinggi.

Hal ini juga penting bagi kesejahteraan ekonomi perempuan, yang sering kali adalah mayoritas pekerja di industri jasa.

Mewujudkan potensi ini bukanlah suatu tugas yang mudah. Hal ini memerlukan peningkatan investasi publik dalam pendidikan, pelatihan, dan bantuan pencarian kerja. Hal ini juga berarti membuka sektor jasa terhadap persaingan yang meningkat.

Pada tataran global, masih banyak upaya yang harus dilakukan. Kita perlu meningkatkan perdagangan di sektor jasa, termasuk perniagaan elektronik (e-commerce), dengan mengurangi hambatan-hambatan di bidang ini—yang masih sangat tinggi.

Upaya-upaya tersebut dapat memberikan hasil yang besar. Dengan mendorong pekerjaan sektor jasa yang berkualitas tinggi, negara-negara dapat membuka pintu menuju pendapatan dan standar hidup yang lebih tinggi bagi jutaan orang.

(ii) Penentu perubahan potensial kedua adalah transformasi digital pemerintah . [7]

Ketika berbicara mengenai teknologi dan sistem yang paling mutakhir, sektor publik dapat menjadi pelopor—dan kita melihat contoh-contoh yang baik di sini, di Asia:

  • Di India, warga menerima pembayaran-pembayaran subsidi dan jaminan sosial langsung ke rekening bank mereka, yang terhubung dengan penanda biometri yang unik.
  • Di Australia, otoritas pajak mengumpulkan informasi tentang upah secara real time, yang memberikan wawasan langsung terkait keadaan ekonomi.
  • Dan di Hong Kong sini, banyak orang tidak akan keluar rumah sebelum melihat aplikasi cuaca MyObservatory, salah satu dari banyak aplikasi yang disediakan oleh pemerintah.

Dalam banyak segi, berbagai prakarsa ini baru merupakan permulaan. Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia saat ini juga sedang mencari cara bagaimana menghasilkan manfaat efisiensi.

Misalnya, satu studi baru-baru ini [8] memperkirakan bahwa hampir 20 persen dari pendapatan negara di seluruh dunia, atau sekitar $5 trilyun, lenyap setiap tahunnya, karena penghindaran pajak dan pengeluaran pemerintah yang salah arah.

Dengan memanfaatkan berbagai perangkat baru—terutama analisis big data—pemerintah dapat mengurangi kebocoran-kebocoran tersebut, meningkatkan sumber daya untuk belanja prioritas, dan membelanjakan secara lebih efisien.

Intinya, pemerintah digital dapat mengampu layanan publik secara lebih efektif, dengan biaya yang lebih rendah, dan dengan peningkatan yang signifikan pada kualitas hidup masyarakat.

Di luar pemerintah, tentu saja, kita sudah melihat bagaimana revolusi digital telah menembus secara lebih dalam pada industri-industri dan tempat-tempat kerja di seluruh dunia.

Sebuah studi terkini McKinsey menemukan bahwa 60 persen dari pekerjaan yang ada saat ini melibatkan kegiatan-kegiatan yang tidak lama lagi akan mengalami otomatisasi.

Maka kita semua perlu berpikir tentang masa depan pekerjaan. Sebagian orang berpikir akan terjadi pengangguran massal, sementara yang lainnya yakin bahwa kita dapat mendorong suatu penempatan ulang secara massal para pekerja ke pekerjaan-pekerjaan yang baru dan lebih baik—seperti yang pernah dilakukan masyarakat di masa lalu.

Tidak ada yang tahu pasti seperti apa wujud masa depan tersebut, namun tampaknya kita dapat mengatakan dengan cukup yakin bahwa perlu ada pembaruan fundamental—mulai dari sistem perpajakan yang lebih adil, hingga bantuan sosial yang lebih baik, hingga sistem pendidikan yang lebih cerdas sebagai bagian dari proses pembelajaran seumur hidup.

Mengelola transisi ini akan menjadi bagian utama dari jawaban atas pertanyaan bagaimana kita dapat mendorong pertumbuhan jangka panjang dan menciptakan peluang yang lebih banyak dan lebih baik bari semua orang.

Kesimpulan

Izinkan saya menutup dengan kembali ke galeri lukisan tentang sejarah perekonomian. Generasi pembuat kebijakan saat ini tengah menghadapi satu pilihan yang amat kontras :

Mereka dapat meniru begitu saja kebijakan-kebijakan masa lalu, yang telah membawa hasil yang beragam—meningkatkan standar hidup secara substansial, namun meninggalkan terlalu banyak orang di belakang. Atau mereka dapat melukis lanskap perekonomian baru—di mana perdagangan terbuka lebih adil dan lebih kolaboratif; di mana sistem-sistem keuangan lebih aman dan lebih mendukung pertumbuhan ekonomi; dan di mana revolusi digital bermanfaat tidak hanya bagi segelintir orang yang beruntung, namun bagi semua orang.

Seperti yang pernah dikatakan seniman tersohor Henri Matisse: “ Kreativitas memerlukan keberanian.”

Kita jelas memerlukan lebih banyak keberanian—di ruang-ruang pertemuan pemerintah, di ruang-ruang rapat perusahaan, dan di dalam hati dan pikiran kita.

Terima kasih.



[1] Dari 1990-2010. Angka Bank Dunia: Indikator Pembangunan Dunia.

[2] Fiscal Monitor, Bab 1

[3] Di negara-negara perekonomian maju, rata-rata utang pemerintah sebagai proporsi dari PDB adalah 106 persen.

[4] Romer dan Romer (2018).

[5] GFSR, Bab 3

[6] WEO Bab 3

[7] Fiscal Monitor, Bab 2

[8] Penelitian McKinsey.

Departemen Komunikasi IMF
HUBUNGAN MEDIA

TELEPON: +1 202 623-7100Email: MEDIA@IMF.org