Kuliah Helen Alexander: Mengapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Itu Perlu

17 September, 2018

Selamat malam.

Suatu kehormatan bagi saya untuk bergabung dengan Anda malam ini, pada kuliah perdana ini untuk mengenang seorang perempuan yang luar biasa—Dame Helen Alexander. Saya ingin menyampaikan salam khusus kepada suaminya Tim; anak-anaknya Nina, Leo, dan Gregory; serta seluruh keluarga dan teman-temannya yang berkumpul di sini malam ini. Terima kasih, Zanny, atas undangan Anda dan terima kasih John atas sambutan pembuka Anda. Izinkan pula saya menyampaikan penghargaan saya kepada Carolyn Fairbairn dari Confederation of British Industry, dan semua yang hadir di sini dari UBM dan University of Southampton.

Masing-masing dari kita yang hadir di sini menggenggam erat kenangan, gambaran sosok dan kata-kata Helen. Seperti apa sosok Helen itu? Beberapa deskripsi yang sering saya dengar tentang dirinya: orangnya sangat cerdas, ulet, teliti, pragmatis, rajin, dan benar-benar berdedikasi. Saya juga mendengar bahwa ia adalah orang yang penuh kasih, adil, terhormat, dan mentor yang hebat: seorang teladan dan sosok yang selalu mendahulukan hubungan manusia, baik keluarga maupun teman. Kita semua berutang budi kepadanya, karena ia begitu banyak memberi. Saya memiliki utang pribadi kepada Helen karena saya pernah mengecewakannya.

Ketika merenungkan dua rangkaian kebajikan tentang Helen ini—dan mengingat beberapa tantangan paling mendesak yang dihadapi dunia yang diperhatikan Helen dengan begitu saksama—saya pikir akan tepat untuk memfokuskan sambutan saya pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), yang didukung oleh komunitas bangsa-bangsa pada tahun 2015 sebagai peta jalan kebijakan sampai tahun 2030.

SDG menetapkan gambaran tentang dunia yang kita inginkan, dan memang yang kita butuhkan—dunia yang bebas dari kemiskinan dan kekurangan; dunia yang lebih adil; dunia yang menghormati batas-batas alami. Mereka mewakili “5 P” yang saling terkait, yaitu prosperity (kemakmuran) , people (manusia), planet, partnerships (kemitraan), dan peace (perdamaian).

SDG merupakan respons yang tepat terhadap tantangan besar abad ke-21, penawar yang tepat bagi hilangnya kepercayaan terhadap berbagai institusi, dan, di beberapa negara, hilangnya kepercayaan terhadap kerja sama global.

Namun, di sinilah kesulitannya: mengubah berbagai aspirasi ini menjadi rencana nyata akan tidak mudah. Hal ini akan membutuhkan sifat-sifat yang mendefinisikan karakter Helen—kepraktisan yang berpadu dengan kepatutan.

Agenda SDG adalah agenda menyeluruh. Fokus saya malam ini akan lebih terbatas—saling melengkapi antara SDG dan mandat IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi global dan kemakmuran ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Secara khusus, saya akan membahas empat dimensi: (i) ekonomi —membantu negara-negara berpenghasilan rendah mencapai SDG; (ii)sosial—pentingnya inklusi dan kesetaraan; (iii)lingkungan—menanggulangi perubahan iklim; dan (iv) tata kelola—pentingnya kelembagaan yang kuat.

1. Dimensi Ekonomi

Izinkan saya mulai dengan dimensi ekonomi—di mana saya ingin fokus pada tantangan SDG tertentu yang dihadapi negara-negara berpenghasilan rendah.

Kita lihat beberapa fakta. Lebih dari satu miliar orang telah mengangkat diri mereka keluar dari kemiskinan ekstrem sejak tahun 1990, dalam konteks integrasi yang lebih besar. Ini adalah pencapaian luar biasa, yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh rentang sejarah manusia. Namun hampir 800 juta orang masih terpuruk dalam kemiskinan ekstrem hari ini.

Dalam bidang kesehatan pun, angka kematian anak telah terpangkas setengah sejak tahun 1990, berkat andil yang tidak kecil dari pendahulu SDG, yakni Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals). Namun, terlepas dari penurunan besar-besaran ini, hampir 6 juta anak masih meninggal setiap tahunnya sebelum ulang tahun mereka yang kelima—dan dalam hampir semua kasus, intervensi medis dasar seharusnya dapat menyelamatkan hidup mereka.

Hal yang sama pun berlaku dalam pendidikan—ada kemajuan besar, tapi masih ada pula kesenjangan yang besar. Di Afrika Sub-Sahara, sekitar seperlima anak usia sekolah dasar tidak bersekolah. Dan terlalu banyak dari mereka, walaupun bersekolah, tidak belajar. Di seluruh dunia, 58 persen siswa di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama—617 juta anak—tidak memiliki kemampuan dasar membaca dan matematika.

Menurut UNESCO, kemiskinan dunia akan terpangkas setengahnya jika semua anak menyelesaikan pendidikan menengah. Mengingat apa yang kita ketahui tentang masa depan dunia kerja, bagaimana orang dapat hidup dalam ekonomi modern tanpa memiliki setidaknya pendidikan jenjang menengah?

Seperti yang pernah dicatat oleh H.G. Wells, “ Sejarah manusia semakin menjadi perlombaan antara pendidikan dan bencana.

Saya dapat membuat poin-poin serupa tentang efek ekonomi dari tidak adanya akses ke basis penting lain dalam perkembangan manusia—kesehatan, air bersih dan sanitasi, energi bersih, dan tersedianya keuangan untuk membantu orang-orang melindungi diri dan memajukan diri.

Saya tahu Helen sangat peduli dengan masalah ini. Ia memahami pentingnya pendidikan yang disesuaikan dengan tantangan modern, menikmati perannya sebagai Kanselir University of Southampton. Ia senang melihat kegembiraan di wajah para lulusan saat ia menyerahkan ijazah kesarjanaan.

Begitu pula di bidang kesehatan, ia sangat bangga dengan pusat imunologi kanker di Southampton. Ia berlari dalam perlombaan Race for Life setiap tahun sejak tahun 2002, bahkan pada tahun 2015, menjelang operasi besarnya. Saat orang-orang yang dikenalnya sakit, ia akan selalu mengunjungi mereka di rumah sakit.

Kami di IMF mengapresiasi betapa sumber daya manusia sangat penting untuk pertumbuhan dan pembangunan. Kami berkomitmen untuk mendukung SDG-SDG ini dengan menawarkan bantuan pada sisi ekonomi makro.

Secara khusus, kami memperkirakan kebutuhan pengeluaran untuk lima sektor utama—pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, jalan, dan listrik—untuk negara-negara ekonomi baru (emerging markets) dan negara-negara berpenghasilan rendah. Dan kami sedang menggali berbagai solusi pembiayaan.

Minggu depan, saya akan mempresentasikan temuan-temuan ini pada sesi khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dicetus oleh Sekretaris Jenderal Guterres. Saya tidak akan mendahului hasil-hasilnya di sini, namun saya akan mengatakan yang berikut: khususnya untuk negara-negara berpenghasilan rendah, memenuhi kebutuhan pengeluaran tambahan akan memerlukan kemitraan yang kuat antara semua pemangku kepentingan—masing-masing negara itu sendiri, juga donor resmi, filantropi, dan pembiayaan swasta. Saya optimistis bahwa hal ini dapat dilakukan.

Akan tetapi, ada beberapa komplikasi tambahan yang harus ditangani. Kebutuhan untuk meningkatkan pengeluaran datang pada saat utang di negara-negara berpenghasilan rendah tampaknya semakin genting—40 persen dari mereka kini menghadapi risiko tinggi kesulitan membayar utang ( debt distress) atau tidak dapat melakukan pembayaran utang mereka secara penuh, yang meningkat dari 21 persen lima tahun yang lalu. Selain itu, negara-negara berpenghasilan rendah meminjam lebih banyak dengan persyaratan non-konsesional, sehingga meningkatkan biaya pembayaran bunga.

Jika pelaksanaan SDG adalah lomba, maka perlombaan ini semakin berat.

Pada akhirnya, mendukung SDG di negara-negara berpenghasilan rendah harus menjadi prioritas global. Ini bukan hanya hal yang benar untuk dilakukan; ini adalah hal yang cerdas untuk dilakukan. Ini bukan hanya soal solidaritas; ini juga demi kepentingan diri. Karena tanpa pembangunan berkelanjutan di dalam negeri sendiri, tekanan ekonomi dan sosial yang melambung—diperburuk oleh pertumbuhan penduduk yang cepat dan meningkatnya tekanan lingkungan—pasti akan meluap melintasi perbatasan, termasuk melalui perpindahan massal penduduk.

Itulah sebabnya mengapa kemitraan sangat penting. Yang dibutuhkan adalah rasa tanggung jawab bersama demi kebaikan bersama—didukung oleh perpaduan kepraktisan dan kemanusiaan yang mendefinisikan karakter Helen. Saya hanya dapat membayangkan bagaimana ia menyemangati anggota CBI ketika ia memimpin mereka.

2. Dimensi Sosial

Izinkan saya sekarang beralih ke dimensi luas kedua dari SDG—inklusi, baik dalam hal ketimpangan pendapatan dan kesetaraan gender.

Ketimpangan pendapatan telah menjadi salah satu tantangan terbesar ekonomi global. Memang, beberapa wilayah telah mengalami kemajuan luar biasa dalam mengurangi kemiskinan dan memperluas kelas menengah selama beberapa dekade terakhir. Dan ketimpangan telah berkurang antar negara. Tetapi tidak di dalam negara.

Sejak tahun 1980, satu persen teratas penduduk secara global telah menikmati dua kali lebih banyak keuntungan dari pertumbuhan daripada 50 persen terbawah. Selama periode itu, ketimpangan pendapatan meningkat di sebagian besar negara-negara ekonomi maju. Hal ini sebagian disebabkan oleh teknologi, sebagian karena integrasi global, dan sebagian lagi karena kebijakan-kebijakan yang lebih mendukung modal daripada tenaga kerja.

Implikasinya mengkhawatirkan, terutama di antara negara-negara ekonomi maju tersebut. Di negara-negara ini, meningkatnya ketimpangan berkontribusi pada menyusutnya masyarakat secara keseluruhan dan cara hidup; terurainya kerekatan sosial dan rasa senasib sepenanggungan; dan kecenderungan yang meningkat untuk menggantikan musyawarah dengan penghujatan, kemitraan dengan kepicikan.

Tentu saja, hal ini semakin mempersulit untuk mencapai kesepakatan tentang jenis-jenis kebijakan dan kemitraan yang diperlukan untuk SDG.

Maka tidak mengherankan bahwa penelitian IMF telah menemukan bahwa mengurangi ketimpangan berkaitan dengan pertumbuhan yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan.

Masalah utama di sini adalah bahwa ketimpangan yang berlebihan dapat merusak gagasan tentang suatu masyarakat yang meritokratis, karena hanya sejumlah kecil orang mendapatkan akses istimewa ke banyak manfaat nyata dan tidak nyata yang diperlukan untuk dapat maju—apakah itu pendidikan, pengayaan budaya, atau koneksi yang tepat. Pengecualian seperti itu, di mana ketimpangan hasil (inequality of outcomes) berlanjut menjadi ketimpangan peluang (inequality of opportunities), merugikan produktivitas karena merampas dari nilai ekonomi dari keterampilan dan bakat dari mereka yang dikecualikan.

Sekali lagi, saya tahu bahwa ini adalah sesuatu yang sangat dipedulikan oleh Helen—masyarakat yang meritokratis, keinginan untuk memastikan bahwa setiap orang dapat memanfaatkan peluang yang tersedia bagi mereka dan memenuhi potensi mereka.

Seperti yang pernah dikatakan Maxim Gorky, “Semua orang hidup untuk sesuatu yang lebih baik di masa depan. Itulah sebabnya kita ingin berbuat baik untuk setiap orang—siapa yang tahu apa yang ada dalam dirinya, mengapa ia dilahirkan dan apa yang bisa ia lakukan?”

Dalam hal mengurangi ketimpangan, penelitian kami menunjukkan betapa pentingnya peran investasi publik di bidang-bidang seperti kesehatan, pendidikan, dan sistem perlindungan sosial. Mengingat skala permasalahannya, sektor swasta juga memiliki peran. Memang benar, seiring kita menghadapi berbagai tantangan yang berhubungan dengan Revolusi Industri Keempat, kita harus mendesak bisnis untuk memikirkan cara-cara baru untuk memperkuat dan memperluas tanggung jawab ekonomi dan sosial mereka.

Lalu bagaimana dengan dimensi inklusi lainnya—kesetaraan gender?

Kenyataan yang menyedihkan adalah bahwa perempuan muda dan dewasa di seluruh dunia setiap harinya terus menghadapi serangan terhadap martabatnya dalam bentuk diskriminasi, pelecehan, bahkan kekerasan yang terlalu sering terjadi.

Fokus pada dimensi ekonomi sekali pun, faktanya membuat kita tertegun. Sekitar 90 persen negara masih memiliki pembatasan hukum tertentu atas kegiatan ekonomi perempuan.

Ini adalah bidang lain di mana inklusi adalah baik untuk ekonomi. Di Inggris sini, seperti yang pernah disebut oleh Helen dalam Hampton-Alexander Review-nya yang terkenal, menghilangkan kesenjangan gender dalam partisipasi tenaga kerja dapat meningkatkan PDB sebesar 5 hingga 8 persen.

Di IMF, kami sudah menunjukkan bahwa kisah ini ditemukan di banyak tempat di dunia. Di Afrika Sub-Sahara, misalnya, kami memperkirakan bahwa menurunkan ketimpangan gender sebesar 10 poin persentase dapat mendorong pertumbuhan sebesar 2 poin persentase selama lima tahun. Kita jelas membutuhkan dorongan pertumbuhan ini untuk mendukung SDG.

Yang indah dari hal ini adalah bahwa laki-laki tidak perlu kehilangan apa-apa. Dengan mengikutsertakan lebih banyak perempuan, perekonomian bisa mendapatkan manfaat dari bakat, keterampilan, perspektif dan gagasan unik mereka. Keragaman ini semestinya dapat meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan upah bagi semua.

Bagaimana kita meningkatkan partisipasi ini? Khususnya di negara-negara berpendapatan rendah, intervensi-intervensi penting mencakup mengurangi kesenjangan gender di bidang kesehatan dan pendidikan, mendukung inklusi keuangan, berinvestasi pada infrastruktur, dan memastikan adanya akses yang lebih baik terhadap air bersih dan sanitasi. Hal ini menciptakan lingkaran kebajikan—berinvestasi dalam SDG dan mendorong pemberdayaan perempuan, yang kemudian meletakkan dasar untuk keberhasilan SDG yang lebih luas. Di negara-negara maju, kebijakan-kebijakan seperti cuti untuk mengurus bayi baru lahir (parental leave) dan akses terhadap layanan penitipan anak yang terjangkau dan berkualitas tinggi dapat sangat membantu.

Dimensi penting lainnya adalah kebutuhan untuk mendorong kepemimpinan perempuan di dunia korporasi. Sekali lagi, bukti menunjukkan bahwa hal ini dapat membawa hasil yang lebih baik—suatu studi menunjukkan bahwa menambah satu perempuan di manajemen senior atau ke dewan direksi dapat meningkatkan tingkat pengembalian aset (ROA) sebesar 8-13 basis poin.

Bahkan, baru saja hari ini, IMF merilis suatu studi—yang dapat dikatakan untuk menghormati Helen—yang menunjukkan bahwa di sektor keuangan, proporsi perempuan yang lebih tinggi pada dewan perbankan berhubungan dengan ketangguhan keuangan yang lebih tinggi. Pada saat yang sama, kami menemukan bahwa adanya lebih banyak perempuan pada dewan pengawasan perbankan dikaitkan dengan stabilitas keuangan yang lebih tinggi. Namun perjalanan masih panjang—di seluruh dunia, kurang dari seperlima anggota dewan perbankan dan hanya dua persen Presiden Direktur (CEO) perbankan adalah perempuan.

Kita mengetahui bahwa semakin beragamnya pandangan dalam kepemimpinan berarti semakin kecil kemungkinan terjebak dalam groupthink dan bias yang tidak kita sadari. Pandangan yang semakin beragam dalam kepemimpinan akan menghasilkan pembuatan keputusan yang lebih berhati-hati dan fokus yang lebih besar pada keberlanjutan jangka panjang. Menurut saya, jelas bahwa keuangan dapat menarik manfaat besar dari meningkatnya keragaman ini.

Helen memahami semua ini. Saya sudah menyebutkan Hampton-Alexander Review, yang tentu saja merupakan salah satu dari warisan beliau yang luar biasa. Dalam kajian ini, salah satu rekomendasi utama beliau adalah meningkatkan proporsi perempuan dalam komite eksekutif perusahaan-perusahaan dalam FTSE 100 hingga 33 persen pada tahun 2020, meningkat dari 26 persen. Dan beliau memperoleh kesimpulan tersebut dengan pragmatisme beliau yang legendaris—dengan “menyoroti data ( shinning a light on the data).”

Seperti yang pernah beliau sampaikan dalam suatu wawancara: “ Jika kita semua berasal dari kelompok yang sama, dari latar belakang yang sama, jika kita diberikan suatu masalah kita cenderung akan tersangkut di tempat yang sama. Jika kita memiliki latar belakang yang berbeda dan ketrampilan yang berbeda dan warisan budaya yang berbeda, kita dapat menemukan jalan keluar dari masalah lebih cepat.”

Pengalaman pribadi Helen menunjukkan bahwa hal ini bukanlah sekedar kata-kata yang kosong. Dalam dua dekade kepemimpinannya di The Economist—seperti yang dikenal Zanny dengan baik, pada perayaan ke-175 publikasi yang baik tersebut—beliau berhasil meningkatkan oplah dari kurang dari 400.000 hingga hampir sebesar 1,4 juta seminggunya. Dan ini terjadi ketika penjualan media cetak mengalami penurunan di mana-mana.

Jadi poin fundamental saya adalah, jika kita ingin mencapai keberhasilan dengan SDG, kita akan memerlukan peningkatan keragaman di dunia bisnis—untuk meningkatkan dinamisme perekonomian dan untuk membantu mengarahkan bisnis dan keuangan menuju investasi-investasi jangka panjang yang diperlukan untuk keberhasilan SDG. Sekali lagi, saya cukup optimistis bahwa hal ini dapat dilakukan.

3. Dimensi Lingkungan Hidup

Izinkan saya beralih ke dimensi ketiga SDG—memastikan bahwa kemajuan perekonomian menghargai batasan-batasan alami dari planet. Setiap tahun yang berlalu, seraya gelombang panas menjadi suatu hal biasa dan badai menjadi lebih sering dan lebih ganas, perubahan iklim semakin mengancam kesejahteraan kita dan terutama kesejahteraan anak-anak kita.

Alasan moralnya cukup jelas—jika kita melawan alam, alam akan melawan kita kembali. Seperti kata-kata T.S. Eliot yang dingin, "Saya akan menunjukkan rasa takut kepadamu dalam satu genggaman debu ."

Meski demikian tanda-tanda harapan masih ada. Beberapa bulan setelah SDG ditandatangani, bangsa-bangsa di dunia menyepakati Perjanjian Paris dan berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon—dengan tujuan untuk mencegah agar peningkatan suhu bumi tidak melebihi 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industrial. Hal ini merupakan prestasi yang berharga, kesaksian yang mengesankan terhadap kekuatan multilateralisme yang langgeng.

Selanjutnya, komitmen ini akan mengharuskan gerakan menuju ekonomi global nol-karbon pada dekade-dekade mendatang. Hal ini tidaklah mudah, namun saya yakin bahwa dunia akan mampu mengarahkan momentum kesadaran globalnya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengamankan masa depan kita bersama.

Apa peran IMF dalam hal ini? Kita dapat menawarkan saran mengenai bagaimana mendorong transisi energi ini ke depan.

Cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah mengenakan harga pada karbon. Penentuan harga karbon memiliki banyak manfaat. Penyelenggaraannya mudah jika biaya karbon diintegrasikan pada sistem pajak bahan bakar. Hal ini akan memberikan insentif yang tepat untuk semua dimensi dekarbonisasi—efisiensi energi yang lebih baik, beralih dari bahan bakar fosil dalam pembangkitan listrik, menuju elektrifikasi pada kendaraan, bangunan, dan proses-proses industri. Hal ini dapat mengurangi tingkat polusi udara yang berbahaya. Selain itu, pajak karbon dapat meningkatkan penerimaan hingga sekitar 1-2 persen PDB setiap tahunnya, yang dapat dialokasikan untuk prioritas-prioritas SDG.

Namun perjalanan masih panjang—bahkan setelah sistem perdagangan emisi Tiongkok mulai berlaku pada tahun 2020, 80 persen emisi global akan masih belum dikenakan harga.

Penyesuaian terhadap kondisi normal baru ini juga akan menjadi penting. Negara-negara yang rentan akan perlu berinvestasi di bidang-bidang seperti perlindungan kawasan pesisir dan infrastruktur serta pertanian yang lebih tangguh. Mereka akan perlu mengelola risiko lebih baik—misalnya, melalui skema-skema pooling regional, dana cadangan, dan obligasi-obligasi bencana alam.

IMF berkomitmen untuk membantu negara-negara anggotanya untuk mengembangkan rerangka kebijakan yang lebih tangguh. Penilaian Kebijakan Perubahan Iklim kami telah mengevaluasi strategi-strategi iklim di beberapa negara yang rentan—termasuk Belize, Seychelles dan St. Lucia. Kami juga menyediakan dana cadangan darurat bagi negara-negara yang dilanda guncangan iklim yang parah.

Sekali lagi, saya tahu bahwa Helen sangat peduli akan hal ini. Beliau tentu saja memahami pentingnya praktik berkelanjutan di dunia bisnis. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa beliau dididik sebagai ahli geografi dan sangat bangga akan hal itu!

4. Dimensi Tata Kelola

Sekarang saya beralih ke tonggak keempat dan terakhir dari SDG—tata kelola yang baik (good governance). Dalam arti yang sesungguhnya, tata kelola adalah fondasi tempat akan dibangunnya segala sesuatu. Jika kelembagaan lemah, peluang bagi SDG untuk berhasil akan sangat dicederai. Ini adalah alasan mengapa SDG menuntut adanya “kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif pada semua tingkatan.”

Hal ini berlaku untuk semuanya—sektor pemerintah dan sektor swasta, domestik dan global. Hal ini berlaku untuk donor dan penerima dana bantuan resmi—untuk memastikan bahwa bantuan disalurkan secara efektif dan terbuka, menjangkau orang-orang yang benar-benar membutuhkan, tanpa kemubaziran, pengalihan, atau duplikasi. Ini berlaku untuk perusahaan-perusahaan swasta dan badan usaha milik negara—yakni untuk memastikan bahwa investasi mereka berlangsung secara terbuka, dengan tata aturan yang setara, membawa manfaat bagi warga negara.

Izinkan saya menyampaikan beberapa patah kata tentang korupsi, yakni wabah ekonomi dan sosial yang sesungguhnya.

Dengan mengurangi kepercayaan dan melemahkan legitimasi lembaga-lembaga, korupsi mempersulit negara untuk mengambil keputusan kolektif yang diperlukan untuk mencapai kebaikan bersama.

Coba pikirkan. Jika sebagian tidak membayar kewajiban pajaknya, pemerintah tidak dapat meningkatkan penerimaan yang diperlukan untuk prioritas-prioritas SDG. Bahkan lebih parah, legitimasi keseluruhan sistem akan dipertanyakan. Pada saat yang sama, jika korupsi menyebar luas, pemerintah dapat tergoda untuk membelanjakan dana pada proyek-proyek yang dapat menghasilkan kickback, namun dengan nilai sosial yang kecil—sekali lagi, meremehkan agenda SDG.

Ini baru dari sisi sektor publik. Kita juga memerlukan sektor swasta yang berinvestasi pada proyek-proyek berjangka panjang, berkelanjutan yang mendukung SDG. Namun mereka tidak akan mungkin dapat melakukannya jika dipaksa untuk membayar “pajak korupsi.” Risiko-risiko dan ketidakpastian sesungguhnya yang menyertai keputusan investasi apa pun akan menjadi jauh lebih besar dengan adanya korupsi.

Sektor swasta tentu saja tidak selalu menjadi korban yang tidak bersalah. Perusahaan dan investor terkadang terlalu mudah tergoda untuk menawarkan suap. Sektor-sektor keuangan juga terkadang terlalu bersedia untuk menerima uang kotor.

Maka tidak mengejutkan bahwa riset IMF telah menemukan bahwa korupsi dan tata kelola yang lemah berhubungan dengan pertumbuhan, investasi, dan perolehan penerimaan pajak yang lebih rendah—mengakibatkan ketimpangan dan eksklusi sosial yang tinggi.

Lalu apa solusinya? Penegakan hukum pidana, tentu saja, adalah penting. Namun penegakan hukum saja tidaklah cukup. Bukti kami menunjukkan bahwa inisiatif-inisiatif anti korupsi yang berhasil berkembang dari reformasi-reformasi kelembagaan yang menekankan keterbukaan dan akuntabilitas—misalnya, dengan membuka semua aspek terkait anggaran pemerintah.

Untuk alasan ini, IMF tengah meningkatkan keterlibatannya dalam tata kelola dan korupsi, secara khusus fokus pada kelembagaan perekonomian yang kuat. Dan ketika kami menemukan bahwa korupsi memiliki besaran makroekonomi, kami tak akan ragu untuk mengatakannya.

Masalah terkait lainnya adalah penghindaran dan penggelapan pajak yang besarannya cukup masif. Satu perkiraan menyebutkan bahwa kekayaan yang ada di pusat-pusat keuangan di luar negeri mencapai 10 persen dari PDB global. Sekali lagi, hal ini mempersulit pendanaan SDG.

Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, nilai-nilai tata kelola yang baik merupakan nilai-nilai yang dianut Helen. Saya tidak terpikir siapa lagi yang memiliki kejujuran, imparsialitas, dan integritas yang lebih tinggi. Di berbagai posisi kepemimpinannya, keterbukaan dan akuntabilitas merupakan pelita yang telah menuntun jalan beliau. Inilah yang membuat orang mencintainya, dan membuat semua yang pernah bekerja dengannya amat loyal padanya. Inilah yang mendorong keberhasilannya yang mengesankan. Ada pelajaran di situ untuk kita semua.

Kesimpulan

Sebelum saya menutup malam ini, saya ingin tahu apakah Anda semua benar-benar sudah memperhatikan.

Saya mengutip Maxim Gorky dan H.G. Wells. Apa yang menjadi kesamaan mereka? Selain penulis dan penghikayat yang hebat, mereka berdua adalah kekasih nenek Helen, bangsawan Rusia Moura Budberg yang hebat itu! Cukup jelas, bahwa di garis keturunan Helen ada banyak perempuan-perempuan yang kuat.

Dengan tema generasi ini, izinkan saya menyudahi malam kita. Apakah kita berhasil atau tidak dengan SDG akan menentukan warisan generasi ini.

Dalam pertunjukan musikal Hamilton—yang begitu terkenal di sini di London—tokoh protagonis utama, Alexander Hamilton, mempertimbangkan satu pertanyaan kunci sesaat sebelum gugur dalam suatu duel. “ Apa yang disebut sebagai warisan,” beliau bertanya. Beliau menjawab: “ Warisan adalah menanam bibit di taman yang tidak akan pernah Anda lihat .”

Helen Alexander telah meninggalkan warisan yang mengesankan. Beliau terlalu cepat meninggalkan kita, dan beliau tidak akan dapat melihat buah dari bibit indah yang telah beliau tanam. Namun generasi mendatang akan dapat menikmatinya—anak-anaknya, siswa-siswanya, dan semua yang hidupnya telah beliau terangi dengan pesonanya dan senyumnya yang jenaka dan cerdas.

Saya berharap kita bisa meneruskan warisan yang sama ketika kita berbicara tentang SDG. Kita berutang kepada mereka yang akan hadir setelah kita.

Terima kasih banyak.

Departemen Komunikasi IMF
HUBUNGAN MEDIA

TELEPON: +1 202 623-7100Email: MEDIA@IMF.org